Thursday, December 8, 2016

Mengenalkan dan Mengekalkan Kehilangan



Pengalaman mengelola hati dengan mengenalkan dan mengekalkan kehilangan. Berbeda dari ajaran kepasrahan, keberserahan dan penerimaan dengan “kontra-kemelekatan” yakni melepaskan diri dari jerat fantasi kepemilikan, kisah ini mengajarkan “kontra-kemelekatan” bersumber dari PENGALAMAN KEHILANGAN yang SEBENARNYA! KEMATIAN !

Sebuah pengalaman kesadaran melalui olah spiritual yang diajarkan Tuhan secara langsung melalui cara-Nya: mencabut fantasi kepemilikan yang kebanyakan dipersepsi oleh manusia sebagai kepemilikan sesungguhnya! Namun, sedemikian sederhanakah pencapaian kesadaran di balik frasa ini? Pengalaman jiwa yang tercabik-cabik, mengantarkan subjek pada penapakan tangga kesadaran yang tak setiap orang mampu menapakinya.



Bagaimanakah manusia yang telah mengalami kehilangan ini telah memasuki ruang kesadaran baru: mengikis habis fantasinya tentang kepemilikan yang sempat dirajutnya sendiri dengan atribut yang dibangunnya sendiri sebelum ia mengalami kehilangan? Dan bagaimana pula ia menangkap sinyal kehilangan itu dari sang subjek utama yang “mengalami-keadaan-hilang” yakni sang puteri sendiri?

Sang puteri, semasa hidupnya menghiasi hasi-harinya dengan menulis kisah sehari-harinya, tentang pikirannya, refleksi kesehariannya, obsesinya,  harapannya, dalam baris-baris lugas namun ekspresif, menyiratkan sosok seorang remaja putri berusia hampir 15 tahun yang periang dan lincah. Coretan-coretan yang mewakili kisah keseharian seorang anak. Imajinasi lepas yang bergerak lincah dan riang, dalam buku ini, adalah sebuah pesan yang menunjukkan tentang siapa penulisnya. Tulisan yang terangkai adalah cerminan penulisnya. Ia selincah dan seriang untaian kata dalam buku setebal 254 halaman ini.

Maka…

Kisah-hidup kita, akan dapat kita tulis dalam berapa halaman? Dan sedalam apa makna kisah kita bagi kehidupan ini? Kegalauan inilah yang sempat saya rasakan ketika membaca halaman-halaman percikan imajinasi dari seorang remaja yang baru tumbuh.

Suatu ketika Sang Puteri menuliskan kata ini…

“Aku ingin bermain di Taman Burung milik-Nya, menunggu ayah dan Bu’e” .

Ungkapan ini menyiratkan pesan aktual akan hadirnya sebuah kenyataan yang bakal dialami oleh jiwa manusia, yakni “kematian”, atau “kembali kepada Yang Mutlak”. Terasa lebih mengena di hati ketimbang aneka dakwah berbuih-buih yang mencoba menghadirkan teks-teks panjang lebar dengan jejalan doktrinal namun senyap pada ruh yang membangun teks ajaran tersebut. Membaca buku ini serasa memaku pandangan pada batu nisan yang seketika mengingatkan kita akan kematian. Sebuah peringatan yang nyata. Juga menancapkan pengembaraan bahwa di balik batu nisan itu tersimpan jutaan memori hidup yang pernah menyertai seseorang yang telah terbaring di dalamnya. Akankah memori-hidup itu cukup bermakna dalam kehidupannya maupun dalam kehidupan orang lain yang pernah bersamanya? Itulah salah satu pelajaran yang dapat kita ambil pada fragmen kehidupan yang menyuguhkan kisah peristiwa kehilangan.

Bagaimanakah kisah-kisah ekspresif-imajinatif dalam dunia Sang Puteri ini menjelma menjadi sebuah pelajaran aktual ketika penulisnya telah pulang menghadap Sang Khalik?

Ini berelasi dengan perjalanan ruhani Sang Ayah, dalam menafsir dan menerjemahkan peristiwa kehilangan ini. Bukan sesuatu yang tiba-tiba terjadi, ketika kemudian Sang Ayah ini mengumpulkan tulisan-tulisan sang buah hati tercinta, menyuntingnya dan menerbitkannya menjadi sebuah buku. Ada ruang hantaran-yang-tak-terjelaskan, manakala kepedihan jiwa mewujud dalam kehendak manifesto cinta, untuk berbagi dengan sesama.. melalui buku ini.
Sosok yang mengalami kehilangan ini, sang ayah, juga Bu’e dan mas serta adiknya, yang terwakili oleh guratan ekspresi dari seorang ayah, seorang sahabat baik saya, Wasis Sasmito, menceriterakan kepada kita tentang perjalanan spiritualnya melalui pelajaran aktual yang tidak setiap orang mendapatkannya: pelajaran kehilangan yang terkekalkan. Sepertinya sahabat saya ini telah berdamai dengan elemen dirinya-yang-paling-oposan. Layaknya oplosan emosi yang membanting jiwanya saat ia baru dikenalkan dengan pelajaran-aktual yang berupa ‘kehilangan’.

Deraan emosi yang menguras-tandas hingga ke dasar jiwanya, hingga ia mencapai titik balik yakni sebuah kesadaran-kembali yang menghantarnya pada dataran baru, hingga ia mampu menuliskan kenangan yang mengekalkan kesadarannya itu. Seketika, ia bertutur, dalam buku ini:

“Ayah coba susun rangkaian prosa ini untukmu, Ntang, karena serangkaian kenangan tentang kita terus berputar-putar dalam kepala, membentur dan menekan ruang kesadaran di otak Ayah. Kadang membuat airmata Ayah turun, hingga Ayah berharap semua ini hanya mimpi, dan kamu akan ada saat ayah terbangun” (p. 227).

Dan ia menyentakkan kekang kendali atas tindakannya bahwa kenyataan tentang ketiadaan dan kehilangan adalah sebuah keniscayaan, sebab itu adalah siklus hidup. Bahwa semua sedang menunggu antrian.

“Tak ada maksud Ayah menahanmu, sebab kamu telah sampai di kedamaian abadi yang dijanjikan-Nya. Bermain bersama burung-burung sambil menunggu Ayah dan Bu’e menyusulmu” (p.228).

Ruang kesadaran yang diraih oleh seorang yang telah mengalami kehilangan secara nyata, akan mampu memunculkan bentuk tindakan yang tak kan mampu dilakukan oleh mereka yang tidak mengalaminya. Walaupun untuk itu, jiwa yang babak belur dihajar emosi-diri berkepanjangan sebagai bayarannya.

Kita, untuk belajar hikmah kesadaran yang lebih tinggi untuk melepas jerat fantasi kepemilikan yang membelenggu jiwa dan membangun hijab antara ruh dan Zat Mutlak, tak perlu mengalami kehilangan seperti kisah dalam buku ini, sebab tak mungkin kuasa bahkan seorang yang mengaku telah berlepas dari kemelekatan pun! Kita, cukuplah membaca kisah ini. Kisah yang menghidupkan sosok yang dicintanya melalui kumpulan tulisan yang ditulis oleh sang anak “yang hilang”, sang anak yang telah mengajari ayah bundanya tentang arti sebuah kehilangan, yang terkekalkan bersama dengan tumbuhnya kesadaran baru.

Saya mengucapkan terimakasih pada sahabat saya yang telah menempuh jalan terjal menapak kesadarannya dengan mengumpulkan tulisan “sang buah hati yang hilang”, menyuntingnya dan menerbitkannya. Rupanya, dalam deraan kesedihan dan kepedihannya, ia ingin berbagi hikmah kehilangan ini, yang tak perlu orang lain juga mengalaminya.

Akhirnya, saya berucap, dan ketika rasa kehilangan telah terkekalkan, dengan apapun metode untuk meraihnya dan tak harus berupa kehilangan yang sesungguhnya, di situlah dataran baru kesadaran dan tindakan, muncul sebagai manusia baru. Dan di setiap lini peristiwa, kita jalani sambil berbagi kisah dan kasih antar sesama, agar kasih terjelma antar jalma manusa. Inilah kehidupan.

Download eBook “Mengenalkan dan Mengekalkan Kehilangan”


Karya Lintang Fajarauna Sophia Perennis, Sang Puteri Yang Mengajarkan Makna Kehilangan, dan disunting oleh Wasis Sasmito, sahabat saya yang mengalami kehilangan dan rupanya kini telah berdamai dengan rasa-kehilangannya itu.

Semoga bermanfaat bagi kita semua. Dan semoga buku yang telah terbit ini dapat merupakan kebaikan-tak-terputus bagi penulisnya, adik Lintang Fajarauna Sophia Perennis (almarhumah). Semoga engkau damai di sana, bermain di taman burung milik-Nya.

Saya, mengulas kembali kisah ini sembari menyuguhkan buku Lintang berjudul “Mengenalkan dan Mengekalkan Kehilangan” ini, untuk dapat membantu meluaskan inspirasi rekan-rekan pembaca blog Diskursus Nusantara ini, bahwa mengelola hati untuk derajat kepasrahan, keberserahan dan pemerimaan, membutuhkan energi yang cukup melelahkan untuk dapat mencapai tangga kesadaran yang lebih tinggi. Untuk dapat memahami sebuah desain hidup dan kehidupan, yang mana kita berada di dalamnya sebagai salah satu keping mozaik.

Namun semua energi besar berikut kelelahan itu… dapat teratasi, dengan getaran cinta yang tulus… Yes, LOVE IS THE GREATEST EMOTION. Ia mampu menciptakan apa saja, mengubah apa saja.

Salaam.

Diskursus Nusantara

No comments:

Post a Comment