Sunday, November 1, 2015

Mengenal Masyarakat dan Budaya Tengger



Mengenal Masyarakat dan Budaya Tengger

Tengger dan Bromo tak bisa dipisahkan. Dalam pengertian harfiah, positivis maupun spiritual. Memang secara fisik keduanya menyatu karena wong Tengger bertempat tinggal di lereng gunung Bromo. Keindahan gunung Bromo telah diketahui oleh banyak orang, dalam dan luar Indonesia. Namun, yang belum banyak diketahui adalah Tengger, termasuk budaya dan kearifan lokal Tengger, Yadnya Kasada, makna spiritual gunung Bromo dan peran dukun Tengger dalam spritualitas dan sosial wong Tengger.


Masyarakat suku Tengger, adalah komunitas tersendiri yang mendiami kawasan lereng pegunungan Bromo – Semeru, yang terletak di wilayah Kabupaten Probolinggo, Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Lumajang dan Kabupaten Malang, Jawa Timur. Jumlah komunitas ini tidak banyak, yakni sekitar 100.000-an jiwa. Walaupun berdiam di lereng gunung, komunitas ini bukanlah suku terasing, primitif atau terisolasi, karena mereka masih berhubungan dengan masyarakat lain. Secara administratif, masyarakat suku Tengger ini mendiami beberapa desa yang merupakan bagian dari wilayah pemerintahan Kabupaten Probolinggo, Lumajang, Pasuruan dan Malang). ”Desa Tengger”[1] tempat bermukimnya masyarakat suku Tengger tersebut adalah desa Jetak, Wonotoro, Ngadirejo, Ngadisari dan Cemara Lawang (Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo); Ledokombo, Pandansari,  dan Wonokerto (Kecamatan Sumber, Kabupaten Probolinggo); Tosari, Wonokitri, Sedaeng, Ngadiwono, Podokoyo (Kecamatan Tosari, Kabupaten Pasuruan); Keduwung (Kecamatan Puspo, Kabupaten Pasuruan); Ngadas (Kecamatan Poncokusumo, Kabupaten Malang); dan Argosari serta Ranupani (kecamatan Senduro, Kabupaten Lumajang). ”Desa Tengger” yang berada pada puncak tertinggi gunung Bromo adalah desa Ngadisari. Di desa-desa tersebut (tempat masyarakat Hindu Tengger bermukim), juga terdapat sistem pemerintahan desa, yang dipimpin oleh seorang kepala desa yang dipilih oleh masyarakat. Misalnya, desa Ngadisari, secara administratif dipimpin oleh kepala desa yang bernama Soepoyo, yang berasal dari desa Ngadisari (beragama Hindu)[2], telah berpendidikan S2[3]. Kini, (2015), kepala desa Ngadisari dijabat oleh istri Supoyo, telah dilantik sejak 10 September 2015. Supoyo kini (2015) menjabat anggota DPRD Kabupaten Probolinggo dari Partai Nasional Demokrat dan tetap sebagai tokoh masyarakat yang disegani di wilayah Tengger khususnya desa Ngadisari.

Mulai memasuki desa-desa ini (terdapat tugu batas desa), terlihat kekhasan perkampungan masyarakat Hindu, yakni terdapatnya bangunan mirip candi atau pura berukuran kecil (tinggi sekitar 150 cm – 200 cm, lebar 50 cm) di depan rumah-rumah penduduk, mirip di Bali.
Bentuk rumah-rumah pada umumnya disesuaikan dengan tekstur tanah yang berbukit, walaupun tidak tampak berbeda dengan rumah-rumah orang Jawa pada umumnya. Beberapa tampak seperti bangunan rumah seperti banyak terdapat di perkotaan (gaya modern), terutama di pinggir jalan umum. Biasanya rumah-rumah ini milik orang kaya di Tengger, yang jumlahnya tidak terlalu banyak. Kebanyakan rumah warga Tengger berbentuk ”rumah biasa”, berbahan semen (tembok), dan papan. Strata ekonomi menengah ke bawah biasanya menempati rumah-rumah yang terletak agak masuk ke dalam, yakni daerah perbukitan. Desa Tengger adalah semua desa yang berada di lereng gunung Bromo.

masyarakat tengger
Kawasan ini adalah kawasan wisata. Warung dan layanan bisnis lain terpampang papan nama identitas mereka. Warung, dan tempat-tempat layanan umum, semua ditulis dengan bahasa Indonesia.  Setelah batas desa Jetak, pemandangan menjadi lain sama sekali yakni rumah-rumah yang pada halamannya dilengkapi dengan bangunan mirip candi atau pura. Di kawasan puncak Bromo, terdapat banyak tempat layanan umum seperti hotel, rumah penginapan, rumah makan, wartel, dsb. Umumnya menggunakan bahasa Indonesia, bahasa Inggris dan bahasa Perancis untuk menandai jenis layanan mereka. (Foto: dok WK)

Mayoritas (95%) warga masyarakat suku Tengger hidup dari bercocok tanam di kebun, ladang dan lahan pertanian yang terdapat di lereng pegunungan Bromo-Semeru. Mereka dikenal sebagai petani yang sangat tangguh, yang mampu bekerja di ladang (tegil) sejak pagi hingga sore hari. Umumnya mereka bertanam tanaman yang lazim tumbuh pada daerah berhawa dingin, yaitu kentang, kol (kubis), dan bawang prei atau bawang daun. Kawasan Tengger di lereng gunung Bromo – Semeru ini berhawa dingin (sekitar 4º C pada malam hari dan sekitar 18º C pada siang hari). Pada masa panen, banyak pedagang dari luar Tengger yang berdatangan ke daerah Tengger untuk mengambil barang-barang komoditi pertanian tersebut untuk dijual  di pasar Kota dan Kabupaten Probolinggo, Lumajang, dan Pasuruan. Sebagian kecil dari mereka (5%) berprofesi sebagai pegawai negeri, buruh, dan pengusaha jasa. Para pemuda, sebagian berprofesi sebagai sopir angkutan pedesaan yang menghubungkan desa-desa suku Tengger dengan desa lain di Kabupaten dan Kota Probolinggo dan Pasuruan. Biasanya mereka menggunakan kendaraan jenis pick up dan L300 atau Bison. Sebagian menyediakan jasa transportasi dan penyewaan kendaraan bagi para wisatawan yang datang ke Gunung Bromo, yaitu kendaraan jenis jeep, hard-top dan kuda tunggang. Kendaraan-kendaraan ini untuk mengarungi lautan pasir hingga mendekati kawasan Pura Luhur Poten Bromo dan kaldera Gunung Bromo. Para wisatawan biasanya setelah mengarungi lautan pasir dengan berkuda atau jeep ini melanjutkan perjalanan ke kaldera Gunung Bromo dengan berjalan kaki, naik tangga buatan. Para perempuan suku Tengger biasanya mencari kayu di hutan lereng pegunungan Bromo dan Pananjakan, disamping bekerja di lahan pertanian lereng gunung.

Hawa dingin rupanya membawa pengaruh pada ”mode” pakaian sehari-hari warga masyarakat suku Tengger. Orang-orang laki-laki pada umumnya selalu mengenakan kain sarung yang dibelitkan dan disarungkan menutupi badan hingga ke kepala (kemulan sarung), menutupi pakaian luar seperti orang kebanyakan (kemeja dan celana panjang). Sehingga muncul guyonan pada masyarakat perkotaan di Probolinggo, jika menemukan orang ber-kemulan sarung, dianggap seperti orang Tengger (kaya wong Tengger). Para pemuda lebih menyukai mengenakan jaket tebal.  Para perempuan, biasa mengenakan selembar kain untuk menutupi bagian depan dari pakaian luarnya (dipakai mirip mengenakan celemek namun berukuran lebih lebar). Umumnya ”celemek” ini bermotif kembang dan dipakai para perempuan jika mereka keluar rumah. ”Celemek” ini tidak lazim dikenakan oleh laki-laki, dan perempuan ketika di dalam rumah. Para perempuan juga mengenakan topi jenis ”topi gunung” yang biasa dikenakan anggota pecinta alam. Sebagian juga suka mengenakan jaket tebal dengan penutup kepala, terutama perempuan muda, baik yang belum menikah maupun yang telah menikah. Para perempuan paruh baya hingga tua, biasanya mengenakan pakaian khas mereka, tetap ”pakaian standard Tengger”, namun lebih sederhana, yaitu cukup berupa pakaian biasa[8] dan dilengkapi dengan kain selendang mirip gendongan bayi, yang berfungsi untuk mengendong sesuatu (biasanya barang-barang bawaan, kayu, dsb). Singkatnya, penutup kepala dan telinga menjadi ”mode” pakaian harian khas Tengger. Hanya saja bentuknya berlainan.(Foto: dok WK)

Berbeda dengan pakaian adat, yang biasanya dikenakan para dukun ketika melangsungkan upacara adat. Pakaian adat Tengger ini sepintas mirip pakaian adat Bali, yakni pakaian mirip pakaian khas Jawa Timur (PKJ) berwarna putih, kerah model kerah Cina, berlilit sarung di atas celana dan bertutup kepala (udheng). Ditambah selendang berwarna kuning bersilang di depan dada.
Masyarakat Tengger memang memiliki kekhasan tersendiri. Salah satu ciri khas masyarakat Tengger, selain beragama  Hindu[9], adalah keberadaan dukun yang berperanan pada fungsi spiritual dan sosial. Dan upacara Yadnya Kasada, yang menggambarkan ekspresi terimakasih masyarakat suku Tengger kepada kekuatan supranatural (Tuhan), yang dalam ajaran Hindu yang dianut masyarakat suku Tengger direpresentasikan pada sebutan “Sang Hyang Widdhi Wasa”. Ungkapan rasa terimakasih ini diwujudkan dalam bentuk pengorbanan berupa hasil bumi kepada dewa, yang dilabuhkan ke dalam kawah Gunung Bromo (inilah asal mula Yadnya Kasada)[10].
Ayu Sutarto, budayawan dari Universitas Jember, dalam makalahnya berjudul “Sekilas Tentang Masyarakat Tengger”, yang disampaikan pada pembekalan Jelajah Budaya 2006 yang diselenggarakan oleh Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional, di Yogyakarta pada tanggal 7 – 10 Agustus 2006, mengemukakan bukti-bukti sejarah terkait keberadaan masyarakat Tengger ini. Ayu Sutarto, mengutip Pigeaud, “Java in The 14th Century” (The  Hague: Martinus Nijhoff, 1960-1963, jilid I-IV, halaman 443-444), menyebutkan tentang keberadaan prasasti berangka tahun 1327 Çaka (1407 M), yang menyebutkan tentang sebuah daerah yang disebut hila-hila, dihuni oleh hulun hyang, dan masyarakatnya taat beribadah, melakukan pemujaan kepada gunung Bromo, sebuah gunung yang dikeramatkan. Prasasti tersebut dihadiahkan oleh Bathara Hyang Wekas ing Sukha (Hayam Wuruk) pada bulan Asada. Nama “Walandit” juga dirujuk dalam Kakawin Nagarakartagama, yang ditulis oleh Mpu Prapanca, seorang pujangga kenamaan dari kerajaan Majapahit. Walandhit adalah nama tempat suci yang sangat dihormati oleh kerajaan Majapahit. Di tempat ini bermukim kelompok masyarakat yang beragama Buddha dan Shaiwa. Masih menurut Ayu Sutarto, kemungkinan besar Walandhit pada waktu itu merupakan mandala yang dipimpin oleh seorang dewa guru. Dewa Guru adalah seorang siddhapandhita (pendeta yang telah sempurna ilmunya) yang memimpin sebuah mandala.  Sebenarnya mandala adalah tempat tinggal pendeta yang sangat jauh dari keramaian, yang biasanya disebut wanasrama. Tempat seperti ini mungkin juga dihuni oleh para resi atau kaum pertapa yang hidup mengasingkan diri.
Bukti-bukti sejarah tersebut, patut dikaji ulang. Jika memang keterangan yang menyebutkan adanya pelarian asal Majapahit dapat dibenarkan, merujuk keterangan dari informan penulis (dukun Tengger, pewaris tradisi Tengger) dan temuan Ayu Sutarto, penulis mengajukan dua argumen. Pertama, terlepas dari fakta sejarah apakah orang-orang Walandhit yang mendiami gunung Bromo ini mempunyai hubungan dengan orang-orang Majapahit atau tidak, setidaknya praktik peribadatan mereka memiliki kesamaan dengan praktik peribadatan orang-orang Majapahit (sehingga raja Majapahit berkenan, dan membuat prasasti). Artinya orang Walandhit adalah “sebagian warga Jawa pada zaman itu” (warga Majapahit atau Singhasari?) yang secara kebetulan bertempat tinggal di “nun jauh di sana” (yakni di gunung Bromo), hal yang belum terjangkau oleh kerajaan. Keberadaan prasasti dapat bermakna “pengakuan raja atas warga yang berada di nun jauh di sana”. Kedua, jika tesis tentang adanya pelarian asal Majapahit itu benar, terdapat penerimaan secara penuh oleh orang-orang Walandhit terhadap para pelarian ini. Mereka kemudian hidup bersama, beranak-pinak dan menurunkan orang-orang Tengger yang dikenal sekarang ini.***


[1] Sebutan “desa Tengger” pada saat ini sudah agak membingungkan, karena beberapa desa yang dulu pernah dikenal sebagai ”desa Tengger”, saat ini tidak lagi melaksanakan adat istiadat Tengger. Karenanya, sebutan “Desa Tengger” pada makalah ini adalah desa-desa yang mayoritas penduduknya beragama Hindu dan masih memegang teguh adat istiadat Tengger.
[2] Semua warga desa Ngadisari (termasuk Jetak dan Cemara Lawang) memeluk agama Hindu.
[3] Warga Hindu Tengger sekarang telah sadar pendidikan. Telah banyak warga Tengger yang berpendidikan tinggi, hingga S1 dan S2, terutama desa Ngadisari. Warga mereka telah banyak yang menempuh pendidikan (terutama pendidikan keguruan) di Universitas Jember (UJ). Tiap tahun UJ memberikan jatah 1 orang warga Tengger untuk melanjutkan pendidikan S1 di universitas tersebut. Uniknya, setelah warga Tengger ini lulus dan telah mengajar di sekolah-sekolah di kawasan desa di Tengger, mereka tidak melupakan ”pekerjaan adatnya” yakni bertani. Tidak jarang mereka membawa pakaian seragam guru ke tanah pertanian. Dan mereka mtidak kehilangan ”ketenggerannya”. Beberapa warga Tengger juga menempuh pendidikan keagamaan Hindu di Pendidikan Guru Agama Hindu di Blitar, Jawa Timur. Mereka ini yang mengajar agama Hindu dan bahasa Sansekerta di berbagai sekolah di kawasan Tengger.
[4] Jetak adalah desa yang berbatasan langsung dengan desa non Tengger yang terletak di bagian bawah desa Jetak.
[5] Belum ada keterangan dalam hukum positif tentang perlindungan desa adat terhadap wilayah adat Tengger.
[6] Tentang dukun dan persyaratan menjadi dukun, terdapat pada bagian bawah makalah ini.
[7] Dari batas akhir Kota Probolinggo hingga ke desa tertinggi di Tengger (desa Cemara Lawang), berjarak sekitar 55 km (sekitar 1 jam perjalanan dengan kendaraan bermotor dengan kecepatan sedang, yang disesuaikan dengan kondisi jalan bergunung).
[8] Biasanya bercelana panjang atau sepanjang lutut dan baju berbahan kaos, dan sebagian mengenakan jarit ringkas dan berkebaya harian.
[9] Masyarakat Tengger sejak dahulu menganut kepercayaan yang mereka sebut ”Shiwa-Buddha”, dengan ritual keagamaan mirip dengan ajaran agama Hindu. Mereka tidak menyebut diri mereka umat Hindu (karena memang tidak tahu nama ajaran mereka). Baru pada tahun 1973, pemerintah RI (bersama para pakar berbagai agama setelah melakukan penelitian), menyebut agama masyarakat Tengger dan memberitahu (ndunungen, dialek  Tengger) bahwa ritual seperti praktik orang Tengger tersebut bernama Hindu. Sejak saat itulah orang Tengger ”resmi” mengetahui bahwa ajaran mereka bernama ”Hindu”.
[10] Tentang Yadnya Kasada selengkapnya dijelaskan pada artikel tersendiri.

Ditulis oleh:
Wawan E. Kuswandoro
_________________________
Bacaan lain:
Kearifan Lokal Budaya Tengger

No comments:

Post a Comment