Sunday, November 1, 2015

Kearifan Lokal Budaya Tengger

Kearifan Lokal Budaya Tengger

Dalam artikel “Mengenal Masyarakat dan Budaya Tengger” telah dipaparkan bahwa masyarakat suku Tengger mayoritas beragama Hindu (mereka menyebutnya “Shiwa-Buddha”), memiliki tokoh panutan spiritual yang disebut “dukun”. Dan yang menarik, simbol sentral dalam relijiusitas umat Tengger adalah gunung Bromo (Brahma), yang memiliki dimensi spiritual dan makna tersendiri dalam tuntunan perilaku hidup umat Tengger.

Terdapat banyak tafsir atas kata “Tengger”. Umumnya adalah terkait legenda Rara Anteng dan Jaka Seger. Banyak orang Tengger percaya bahwa istilah Tengger terkait erat dengan legenda maupun cerita-cerita lisan rakyat Tengger  yang sudah melembaga dan hidup bertahun-tahun lamanya. Istilah Tengger dianggap bersifat magis mistik, karena merupakan penggabungan dari legenda populer masyarakat yaitu legenda Roro Anteng dan Joko Seger. Dua manusia yang dipertemukan sebagai suami istri, dan berasal dari dua status sosial yang berbeda pula. Yang satu (Rara Anteng) merupakan  putri raja Majapahit (Prabu Brawijaya) dan yang satunya (Jaka Seger) adalah putera seorang Brahmana (Begawan Pananjakan). Berbagai versi perihal legenda tersebut telah disampaikan oleh banyak peneliti, termasuk juga dalam tulisan ini. Legenda tersebut, sebagaimana disampaikan oleh sesepuh desa (dukun) adalah sebagai berikut:



Rara Anteng dan Jaka Seger, yang konon, nama “Tengger” diambil dari padanya, menurut legenda, Jaka Seger dan Rara Anteng (pasangan suami istri) telah lama tidak mendapatkan keturunan. Setelah bersemadi, ia mendapatkan suara gaib. Mereka akan diberi 25 anak, dengan syarat ia harus rela menyerahkan anak bungsunya untuk diambil kembali pada Bulan Kasada, Purnama ke-14, bang wetan (fajar timur). Namun, setelah Kusuma, anak bungsunya, berusia 10 tahun, Jaka Seger dan Rara Anteng yang teringat akan janjinya dulu, tidak menyerahkan Kusuma sebagai korban, malah mengungsikan ke-25 anaknya ke Gunung Penanjakan. Ia takut kehilangan salah satu putranya. Meskipun demikian, Sang Hyang Kuasa tetap mengambil Kusuma, tepat di Bulan Kasada, sebagaimana yang pernah dijanjikan. Akhirnya, Kusuma pun melalui suara gaibnya berpesan kepada seluruh saudaranya di sekitar Poten untuk merelakannya kepergiannya. Kusuma juga berpesan agar mereka hidup rukun. Untuk mengingat dirinya, Kusuma hanya meminta warga Tengger agar menyisihkan sebagian hasil buminya kepadanya. Inilah awal mula upacara Yadnya Kasada, yang selalu dirayakan oleh masyarakat Tengger secara turun temurun. Yadnya Kasada diartikan sebagai ”hari kurban yang sakral”. Bagi warga Tengger, Yadnya Kasada mempunyai makna khusus dalam hidup mereka. Terbukti, ketika malam Kasada mencapai puncaknya, ribuan warga suku Tengger dengan perlahan berbondong-bondong menapaki Gunung Bromo. Mereka membawa berbagai hasil bumi yang mereka tanam di ladang masing-masing, untuk kemudian dipersembahkan kepada sang lelulur, yakni Kusuma, di Kawah Gunung Bromo. Jauh dan terjalnya medan pegunungan tak menyurutkan mereka untuk mencapai puncak kawah dan melemparkan hasil bumi dan ternak. Pria, wanita, tua, muda, maupun bocah, tidak mau ketinggalan mendaki Gunung Bromo. Dengan diterangi sejumlah oncor (obor), mereka mendaki kaki Gunung Bromo yang berpasir itu secara perlahan. Gamelan kepyek, yang bergemerincing maupun tabuhan ketipung yang mengiringi prosesi ini, semakin menambah kehikmatan dan kesakralan Upacara Yadnya Kasada. Di atas puncak gunung itu, keturunan Rara Anteng dan Joko Seger ini mengucap syukur kepada Sang Hyang Widhi Wasa atas karunia yang mereka terima selama satu tahun.

Tentang  Yadnya Kasada, diuraikan pada artikel tersendiri.

Keberadaan Rara Anteng dan Jaka Seger ini, semula diyakini sebagai sosok yang merupakan cikal bakal masyarakat Tengger. Legenda ini kemudian, menurut sesepuh Tengger, dilogikakan untuk keperluan penghayatan ajaran agama (Hindu). Legenda Rara Anteng dan Jaka Seger kemudian ditafsirkan sebagai personifikasi dari ajaran kehidupan tentang tujuan hidup. Menurut nilai kerarifan budaya lokal Tengger, dikatakan bahwa apapun keyakinan umat manusia, pasti menuju kepada tujuan hidup yang anteng (tenang) dan seger (makmur). Ketenangan dan kemakmuran inilah sebenarnya sajatining urip (kehidupan sejati), yang didambakan umat manusia. Sintesis anteng dan seger[1] yang dicita-citakan orang Tengger ini diekspresikan dengan pemujaan-pemujaan kepada Sang Hyang Widdhi Wasa dan kepada leluhur, yaitu Kusuma, atau Raden Kusuma, atau Sang Dewa Kusuma, anak bungsu (personifikasi) Rara Anteng dan Jaka Seger, dengan menggunakan pusat pemujaan yaitu Gunung Bromo.

Gunung Bromo dan Dukun Bagi Masyarakat Tengger
Gunung Bromo, merupakan gunung berapi yang masih aktif dan paling terkenal sebagai obyek wisata di Jawa Timur. Sebagai sebuah obyek wisata, gunung Bromo menjadi menarik karena statusnya sebagai gunung berapi yang masih aktif. Gunung Bromo mempunyai ketinggian 2.392 meter di atas permukaan laut, berada dalam empat wilayah, yakni Kabupaten Probolinggo, Pasuruan, Lumajang, dan Kabupaten Malang. Bentuk tubuh gunung Bromo bertautan antara lembah dan ngarai dengan kaldera dan lautan pasir seluas sekitar 10 kilometer persegi. Gunung Bromo mempunyai sebuah kawah dengan garis tengah ± 800 meter (utara-selatan) dan ± 600 meter (timur-barat). Sedangkan daerah bahayanya berupa lingkaran dengan jari-jari 4 km dari pusat kawah Bromo. Di kawasan sekitar gunung Bromo terdapat beberapa gunung kecil: gunung Batok (2.470 m), gunung Kursi (3.392 m), gunung Watangan (2.601 m), gunung Widodaren (2.600 m), dengan suhu rata-rata 7 – 18 ºC.

Penyebaran komunitas Tengger ke empat arah mata angin yang mengelilingi Gunung Bromo seolah menyimpan misteri mistik tersendiri. Semacam konsep kearifan kejawen yang berbunyi kiblat papat limo pancer, Suku Tengger seolah mengidentifikasi diri sebagai kiblat papat dan gunung Bromo sebagai pancer-nya. Artinya, keseluruhan aktivitas ritual suku Tengger terpusat di Gunung Bromo.
Bromo (gunung Bromo), bagi masyarakat Tengger memiliki makna sakral dan suci, serta tidak hanya berdimensi spiritual (pusat pemujaan), sekaligus berdimensi sosial. Bromo, berasal dari kata “Brahma”[2], merujuk pada nama dewa dalam ajaran agama Hindu. Brahma juga berarti singgasana, tempat bertahta, landasan, chakra (pusat kehidupan atau pusat kekuatan). Tak heran jika masyarakat Hindu Tengger ini sangat menghormati gunung Bromo. Pada dimensi spiritual, Bromo bagi masyarakat Tengger merupakan punjêré kauripan (pusat kehidupan), dan dianggap gunung suci, walaupun mereka menolak dikatakan sebagai pemuja gunung Bromo. Bagi mereka, sesembahan adalah Sang Hyang Widhi Wasa. Gunung Bromo adalah pusat kekuasaan dan tahtanya. Pada dimensi sosial, Bromo merupakan arena bersosialisasi antar sesama warga Tengger (nglumpuke wong Tengger) yakni pada saat upacara Yadnya Kasada (dijelaskan pada artikel “Yadnya Kasada”). Juga merupakan arena bersosialisasi atau berkomunikasi dengan alam. Karena masyarakat secara mayoritas hidup dari bercocok tanam, dan kesuburan lahan pertanian mereka tergantung dari semburan abu vulkanik dari gunung Bromo (masyarakat mengetahui dan memahami hal ini), maka mereka menganggap gunung Bromo ini membawa berkah bagi kehidupan mereka.
Tradisi dan adat kehidupan masyarakat Tengger tidak dapat dilepaskan dari konsep tentang Bromo (gunung Bromo). Ikatan spiritual masyarakat Tengger dengan Gunung Bromo (Brahma) ini seolah-olah telah menjadi identitas spiritual masyarakat Tengger. Di dalamnya terdapat ajaran tentang kehidupan: berhubungan dengan kekuatan supranatural secara transendental, berhubungan dengan sesama makhluk dan dengan alam.

Tengger bisa juga berarti an-Teng (tenang) dan se-Ger (segar). Masyarakat Tengger menghayati betul ajaran ini. Konsep anTeng – seGer (Teng-Ger) yang berarti damai dan makmur ini begitu dihayati oleh masyarakat Tengger. Yang dapat dilihat pada masyarakat Tengger sekarang, adalah bahwa di Tengger tidak dikenal adanya praktik tindakan social delinquency dan kekerasan sosial, seperti pencurian, perzinahan, perselingkuhan, perkelahian, dsb. Fakta ini juga disampaikan oleh Ayu Sutarto[3].

Praktik penghayatan ajaran tersebut yang membedakan antara praktik Hindu Tengger dengan Hindu Bali, walaupun bersumber dari ajaran yang sama, yakni agama Hindu. Orang Tengger berpendapat bahwa Hindu adalah satu, namun tidak ada keharusan bagi orang Tengger untuk sama dengan orang Bali dalam hal praktik peribadatan. Perbedaan ini misalnya tampak pada pola penataan sesaji, disamping tentu saja penghayatan tentang Bromo dan Yadnya Kasada, serta eksistensi dukun. Menurut Parisada Hindu Darma, masyarakat Tengger disebut memeluk agama Buddha Mahayana[4]. Tidak seperti Hindu, orang Tengger tidak memiliki candi-candi dalam melakukan upacara, namun peribadatan (pujan) dilakukan di poten atau punden.

Dukun Tengger        
Pada kehidupan sosial masyarakat Tengger, ada hal yang menarik, yaitu, walaupun masyakat suku Tengger ini tersebar dan terpisah di empat kawasan administratif (Probolinggo, Pasuruan, Lumajang dan Malang), orang-orang Tengger satu sama lain memiliki ikatan emosionalitas yang cukup tinggi. Wilayah administratif hanya menunjukkan batas wilayah fisik, tetapi ikatan batin antara mereka terjalin secara historis dan turun temurun yang tidak bisa dibatasi oleh garis perbatasan. Kuatnya ikatan antar masyarakat di pegunungan Tengger, utamanya masyarakat yang selama ini mengidentifikasi diri sebagai “masyarakat adat Tengger”, terutama dipengaruhi oleh kesamaan identitas dan adat istiadat yang mereka miliki. Artinya, kuatnya masyarakat Tengger dalam memegang nilai-nilai adat istiadat selama ini memberikan pengaruh positif bagi kuatnya ikatan batin antar masyarakat dalam komunitas Tengger. Singkatnya, yang dapat disebut sebagai masyarakat Tengger (wong Tengger), adalah masyarakat yang mendiami lereng pegunungan Bromo-Semeru di wilayah Probolinggo, Pasuruan, Lumajang dan Malang, beragama Hindu dan memegang teguh adat istiadat Tengger.

Sistem sosial masyarakat suku Tengger tidak bisa dilepaskan dari peran dukun. Dalam masyarakat Tengger, secara adat, dukun merupakan  pewaris tradisi Tengger, memegang peranan yang sangat strategis, sama dengan kedudukan kiai dalam masyarakat Muslim dan pendeta dalam masyarakat Kristen serta pastor dalam hirarki Katolik. Di Tengger, pengertian dukun sangat jauh berbeda dengan pengertian dukun pada masyarakat lain. Seorang dukun Tengger merupakan tokoh panutan masyarakat yang mempunyai fungsi spiritual, yaitu memimpin upacara keagamaan/ adat, memimpin upacara perkawinan, kematian dan berbagai keperluan religius lainnya. Sedangkan pada fungsi sosial, dukun berperanan sebagai mediator antara urusan warga masyarakat (selain urusan yang berhubungan dengan pemerintahan). Memang kadang-kadang para dukun juga dimintai tolong oleh warga untuk urusan pengobatan, namun ini di luar fungsi dan tugas utama seorang dukun Tengger. Biasanya, hal seperti ini hanya terjadi karena kebetulan sang dukun secara pribadi memiliki kemampuan linuwih (kelebihan secara spiritual). Namun fungsi utama dukun Tengger ini adalah sebagai pemandu spiritual warga. Masing-masing desa Tengger memiliki satu orang dukun desa. Desa yang memiliki kepadatan penduduk yang tinggi dan wilayah yang luas, dapat memiliki lebih dari satu dukun (biasanya dua orang dukun) untuk dapat menjangkau umat tersebut. Untuk dapat menjadi seorang dukun, syaratnya harus memiliki kemampuan khusus tentang agama Hindu dan mampu menghapal mantra-mantra, dan disegani oleh masyarakat (mirip dengan konsep kiai dalam masyarakat Muslim dari sub kultur NU). Dari tradisi Tengger sejak jaman dahulu, jabatan dukun senantiasa turun temurun (dari garis keturunan yang sama dengan pendahulunya, dan selalu laki-laki), walaupun ada ujian khusus bagi para calon dukun sebelum disahkan dan dilantik oleh kepala dukun pada waktu upacara Yadnya Kasada. Uji kompetensi calon dukun ini berkisar pada penguasaan agama Hindu dan penguasaan mantra-mantra. Para calon dukun ini diuji kemampuan membaca mantra di hadapan dukun senior. Setiap calon dukun harus mampu menghapal sekitar 153 seloka (judul mantra) dari 63 bab.

Seorang dukun (dukun desa) “hanya” bertanggungjawab terhadap umat yang ada di desanya. Di setiap desa Tengger, baik yang berada di Probolinggo maupun Pasuruan, Lumajang maupun Malang, masing-masing memiliki seorang dukun. Dukun-dukun desa ini dikoordinasi oleh dukun yang bertindak selaku “koordinator wilayah” untuk masing-masing distrik Probolinggo, Pasuruan, Lumajang dan Malang. Pembagian wilayah “kekuasaan” ini, untuk daerah timur (disebut Brang Wetan) yaitu Probolinggo dan Lumajang dikoordinasi oleh seorang Dukun Brang Wetan. Demikian pula untuk Brang Kulon (wilayah Barat) yaitu Pasuruan dan Malang, dikoordinasi oleh seorang Dukun Brang Kulon. Dan untuk mengkoordinasi semua dukun, mulai dari Dukun Desa (dukun desa biasanya hanya disebut dukun saja) hingga Dukun Brang, adalah seorang Kepala Dukun. Kepala dukun ini dipilih oleh semua dukun dan sesepuh desa, termasuk kepala desa. Pemilihan dilakukan secara musyawarah kekeluargaan, yang dilakukan secara santai sambil menikmati malam di kawasan gunung Bromo, tanpa ada pemilihan secara formal menggunakan biting[5] atau surat suara. Biasanya pemilihan kepala dukun ini dilakukan pada saat semua dukun berkumpul, yakni pada waktu (setelah) upacara Yadnya Kasada. Syarat untuk menjadi kepala dukun ini, mirip dengan syarat menjadi dukun, yakni berkisar pada penguasaan ajaran agama Hindu, termasuk penguasaan mantra-mantra. Dan tidak kalah penting adalah unsur senioritas, sehingga biasanya mereka yang menjabat kepala dukun ini adalah mereka yang sudah berumur, dan tidak selalu berdasar garis keturunan. Kepala dukun yang sekarang (pada saat penulis berkunjung, tahun 2007) dijabat oleh Moejono (dukun dari desa Ngadas, Probolinggo), yang sebelumnya menjabat selaku wakil kepala dukun pada waktu jabatan kepala dukun dipegang oleh Soedjai[6] (telah meninggal dunia). Sekarang (2015) jabatan kepala dukun dipegang oleh Sutomo (dukun desa Ngadisari). Kepala dukun bertugas mengkoordinasi semua dukun Tengger yang tersebar di empat wilayah (Probolinggo, Pasuruan, Lumajang dan Malang). Termasuk dalam tugas kepala dukun adalah menyelesaikan konflik yang ada antar dukun, memfasilitasi pemecahan permasalahan umat Tengger di daerahnya masing-masing. Selain menggunakan media berkumpul pada waktu upacara Yadnya Kasada. Seorang kepala dukun biasanya melakukan kunjungan ke empat daerah masyarakat Tengger (Probolinggo, Pasuruan, Lumajang dan Malang). Maka, secara tradisi, seorang kepala dukun biasanya berasal dari kalangan berkemampuan finansial cukup baik. Dalam struktur sosial masyarakat Tengger, posisi dukun, lebih-lebih kepala dukun, menduduki posisi teratas. Karena itulah, jabatan kepala dukun merupakan jabatan yang sangat strategis dalam struktur sosial masyarakat Tengger. Disamping memiliki legitimasi spiritual dan sosial yang sangat kuat, ia juga memiliki power. Dan uniknya, seorang kepala dukun tidak bertindak selaku kepala dukun, tetapi selaku dukun desa (mewakili desa tempat asalnya). Dalam pembacaan doa (mantra), seorang kepala dukun tidak membacakan doa atas nama seluruh umat Tengger, tetapi atas nama desanya masing-masing. Artinya, walaupun kepala dukun memiliki otoritas sosial (juga politik)[7], dalam hal membaca doa (pada upacara Yadnya Kasada), seolah-olah tidak memiliki otoritas relijius (urusan doa justru menjadi wilayah dukun desa, atas nama desa masing-masing).
Inilah menarik dan khasnya masyarakat di pegunungan Tengger. Ketaatan pada adat istiadat telah memberikan kontribusi bagi relasi sosial yang cukup kondusif serta kuatnya kemampuan masyarakat dalam mempertahankan identitas kulturalnya sebagai masyarakat adat. Sumber dari aktivitas kehidupan masyarakat Tengger adalah bagaimana mereka mempertahankan, mewarisi dan menghidup-hidupkan nilai-nilai adat istiadat yang sudah ada dan melembaga sejak bertahun-tahun lamanya.

Tradisi dan Bahasa
Masyarakat Tengger merupakan salah satu komunitas masyarakat di kepulauan Jawa yang masih setia terhadap adat istiadat warisan nenek moyang. Masyarakat adat Tengger tidak pernah bisa lepas dari tradisi luhur yang telah diwarisinya selama ini. Kemampuan untuk mempertahankan tradisi tersebut menjadikan masyarakat Tengger dianggap sebagai bagi dari masyarakat adat di nusantara. Penghormatan terhadap tradisi tersebut memberikan bukti bahwa mereka cenderung ‘berbeda’ dengan masyarakat Jawa pada umumnya, meskipun sama-sama menggunakan bahasa Jawa dalam pergaulan sehari-hari, tetapi dialek yang dipergunakan adalah bahasa Jawa dialek Tengger. Ciri bahasa Jawa dialek Tengger ini adalah dominasi ucapan berbunyi “a” pada akhir suku kata, bukannya diucapkan “o” seperti pada kebanyakan bahasa Jawa dialek Jawa Tengah atau Jawa Timur. Sepintas mirip dialek Banyumas namun cengkokan (intonasi) kalimatnya datar. Jika penulis amati, dialek Tengger ini mirip perpaduan antara bahasa Jawa dialek Banyumas (bunyi “a”, bukan “o”) bercampur dialek Banyuwangi dan sedikit pengaruh bahasa Bali. Misalnya, sira (artinya kamu, bentuk lugas) diucapkan “sira”, bukan “siro”; rika (artinya anda, atau kamu dalam bentuk sopan) diucapkan “rika, bukan “riko”. Ada sedikit pembeda dalam penyebutan kata ganti orang menurut jenis kelamin seperti lazimnya pada bahasa Perancis atau Spanyol. Misalnya “reang” untuk menyebut saya (bagi orang laki-laki). Sedangkan para perempuan akan menggunakan kata “ingsun” untuk menyebut saya. Pengaruh bahasa Bali misalnya muncul pada kata “odalan” (nama salah satu upacara di Tengger), yang digunakan (diucapkan) warga Tengger, bersamaan artinya dengan kata wedalan (keluaran, mengeluarkan, bahasa Jawa). Satu lagi yang unik (berbeda dengan bahasa Jawa) dalam dialek Tengger ini, adalah mengucapkan kata yang berarti “…kan” (bahasa Indonesia) seperti pada kata “mengumpulkan”, yang dalam bahasa Jawa disebut “nglumpuknaatau “nglumpukke”, dalam dialek Tengger diucapkan “nglumpuken”.  Begitu juga dengan “nglebokna atau “nglebokke(artinya: memasukkan), diucapkan “ngleboken”. Dan sebagainya, yang kalau ditulis, akan menghabiskan puluhan halaman. Dan banyak keunikan lainnya dalam hal bahasa, yang juga penulis minati. Penulis menduga, dialek ini bisa ditelusuri untuk memperkirakan dialek yang digunakan orang Jawa pada jaman kerajaan Majapahit dahulu.

Menurut Vina Salviana[8],  kemampuan kohesi sosial antar warga Tengger di manapun mereka berada ditengarai karena dalam kehidupannya, masyarakat adat Tengger cenderung mengadakan hubungan dengan sesama yang berkembang menjadi hubungan dengan alam sebagai usahanya menanggapi secara aktif dan responsif terhadap lingkungan. Pola ini berkembang menjadi pola kebudayaan yang menjadi dasar dan suatu interaksi sosial dalam kelompok masyarakatnya. Bahkan dalam konstruksi sosialnya, dalam sistem kekeluargaannya, masyarakat adat Tengger memiliki ikatan keluarga dan kekerabatan antar sesama manusia yang sangat erat, sehingga tercipta suasana tenteram dan damai tanpa kekerasan dan konflik (sesuai dengan doktrin anteng dan seger, lihat halaman 13).
Komunitas masyarakat Tengger memiliki keragaman budaya yang sarat dengan nilai-nilai ritual yang menjadi tuntunan kehidupan warganya. Keberagaman budaya yang yang diwariskan dari nenek moyang secara turun temurun itu selalu ditaati dan dijunjung tinggi, yang pelaksanaannya diwujudkan dalam bentuk-bentuk upacara adat seperti; upacara ritual Yadnya Kasada, Karo dan Unang-unang[9].

[1] Namun belum ada penjelasan tentang makna anteng yang dipersonifikasikan dengan jenis perempuan (dari Rara Anteng) dan seger yang berjenis laki-laki (dari Jaka Seger).
[2] Dewa Brahma dalam literatur Hindu juga disebut Dewa Api. Dalam pemahaman masyarakat Tengger, dianggap sebagai “Dewa Pandai Besi” yang bersemayam di gunung Bromo.
[3] Ayu Sutarto, op.cit., hal. 1, dan Ayu Sutarto, “Tinjauan  Historis dan Sosio-Kultural Orang Tengger”, dalam Majalah Argopura, Vol. 18 No. 1 dan 2, Th.1998: 21 – 37.
[4] Bandingkan dengan pengakuan orang Tengger, yang menyebut keyakinannya dengan ”Shiwa Buddha”.
[5] Biting adalah rautan batang bambu yang dipotong kecil-kecil mirip tusuk gigi. Dalam pengertian ini biasanya digunakan untuk menghitung suara dalam pemilihan kepala desa.
[6] Soedjai adalah seorang dukun desa Ngadisari, Probolinggo (telah meninggal dunia). Penggantinya adalah: Sutomo.
[8] Vina Salviana,  “Modal Sosial Masyarakat Adat Tengger Dalam Menjaga Tatanan Sosial” dalam Nurudin, dkk, 2003, Agama Tradisional, Potret Kearifan Masyarakat Samin dan Tengger, Yogyakarta, LKiS, halm. 88).
[9] Juli Astutik, “Makna Ritual Upacara Kasada dalam Perspektif Antropologi” dalam Nurudin, dkk, 2003, Agama Tradisional, Potret Kearifan Masyarakat Samin dan Tengger, Yogyakarta, LKiS, halm. 98). Pada kutipan dari Juli Astutik, disebutkan upacara ”Unang-unang”. Sengaja penulis kutip sesuai dengan aslinya. Namun, yang nama yang benar adalah ”unan-unan” (tanpa bunyi ”ng”). Unan-unan adalah upacara di luar Kasada, yang dilangsungkan setiap 5 tahun sekali.

Ditulis oleh:
Wawan E. Kuswandoro
_______________________
Bacaan lain:
Yadnya Kasada

No comments:

Post a Comment