Sunday, November 1, 2015

Adat Perempuan Lamar Laki-Laki

Adat Perempuan Lamar Laki-laki:
Adat Lamaran di Kabupaten Lamongan

Masyarakat Lamongan adalah masyarakat yang terkenal ulet.  Mereka tersebar di banyak tempat di seluruh nusantara dalam mencari sumber penghidupan perekonomian di berbagai sector,khususnya informal. Yakni berdagang makanan khas seperti soto lamongan, tahu campur, lele penyet, dsb.  Banyak pula  kekhasan masyarakat lamongan dalam hal budaya,  misalnya lamaran. Yang umum diketahui orang adalah bahwa pihak perempuanlah yang melamar pihak laki-laki. Ada hal-hal filosofis lain yang mendasari pilihan tersebut disamping bahwa pihak perempuan melamar pihak laki-laki adalah sebuah alternative pilihan. Namun saat ini lamaran cara adat di Lamongan pudar tergerus zaman.



DATA GEOGRAFIS, KLIMATOLOGIS, DAN KARAKTERISTIK WILAYAH DAN PENDUDUK
Letak geografis Kabupaten Lamongan berada antara 6 51`54” dan 7 23’ 6’’ lintang selatan dan antara 112 4’44’’ dan 112 33’12’’ garis bujur timur.[1]
Luas wilayah Kabupaten lamongan 1.812,8 km2 atau 181.280.300Ha, atau sama dengan 3,78% luas wilayah propinsi Jawa Timur. Sebagian wilayah terdiri atas dataran rendah dan bonorowo serta sebagian lagi dataran tinggi sekitar 100 m dari permukaan laut. Struktur tanah sebagian besar terdiri dari jenis alufial, grumosal, dan meditean coklat.
Batas-batas wilayah kabupaten lamongan antara lain:
  • Sebelah utara     : laut jawa
  • Sebelah timur     : Kabupaten Gresik
  • Sebelah barat     : Kabupaten Bojonegoro dan Tuban
  • Sebelah selatan   : Kabupaten Mojokerto dan Jombang
Secara topografi, wilayah kabupaten lamongan cenderung cekung di tengah dan tinggi di bagian utara dan selatan. Wilayah kabupaten lamongan  yang kemiringan tanahnya lebih dari 15 derajat sekitar 6%. Sedangkan selebihnya adaah dataran dengan tingkat kemiringan kurang dari 15 derajat. Dengan kata lain, sekitar 70% luas wilayah mempunyai tingkat kemiringan 0-2 derajat dan cenderung landai.
Bila dilihat dari kondisi klimatologis, Kabupaten Lamongan terletak di bawah equator dan mempunyai iklim tropis yang terbagi dalam dua musim. Musim hujan mulai Oktober sampai dengan April dan musim kemarau April sampai Oktober. Diantara dua musim tersebut terdapat musim peralihan atau pancaroba yakni April/Mei dan Oktober/ Nopember.
Curah hujan di Kabupten Lamongan rata-rata lebih kurang 1.400 mm/tahun, sehingga Lamongan termasuk daerah yang bercurah hujan rendah.
Secara karakteristik, wilayah kabupaten lamongan di bedakan dalam tiga bagian:
  • Bagian tengah selatan merupakan daerah dataran rendah yang relative agak subur.  Bagian ini membentang dari kecamatan Kedungpring, Babat, Sugio, Sukodadi, Pucuk, Lamongan,Tikung, Deket, Sarirejo, dan Kembangbahu
  • Bagian selatan dan Utara merupakan pegunungan kapur berbatu dengan tingkat kesuburan tanah sedang. Bagian ini mulai dari Kecamatan Bluluk, Mantup, Sambeng, Ngimbang, Sukorame, Modo, Brondong, Paciran, dan Solokuro.
  • Bagian tengah utara merupakan wilayah bonorowo yang termasuk daerah rawan banjir. Bagian ini membentang mulai Kecamatan Sekaran, Maduran, Laren, Karanggeneng, Kaitengah, Turi, Karangbinangun, dan Glagah.

Jumlah penduduk Kabupaten Lamongan tahun 2004 adalah 1.244.812 jiwa dengan kepadatan rata-rata 676jiwa/km2 serta sebagian besar yakni 99,63% beragama islam. Sebagian besar bersuku jawa yang pada umumnya tinggal di pedesaan dengan mata pencaharian sebagai petani dan buruh tani. Karena dulunya tantangan alam cukup berat, disisi lain lokasinya dekat dengan Surabaya, medorong terbentuknya lapisan masyarakat pedagang yang ulet, baik sebagai pedagang bakulan, makanan, industri kecil dan kerajinan maupun jasa masyarakat.[2]
Orang lamongan mempunyai semangat gotong royong dan etos kerja yang tinggi, bersifat terbuka, serta rela berkorban demi kepentingan orang banyak serta mempunyai toleransi tinggi  selalu memelihara kerukunan dalam suasana ketentraman dan kedamaian[3].
Secara administrative pemerintahan, Kabupaten  Lamongan terdiri dari 27 kecamatan, 12 kelurahan, dan 462 Desa.

B.      ADAT LAMARAN KHAS LAMONGAN
Dalam berbagai literatur tata cara lamaran bisa dikategorikan sebagai kebudayaan. Kebudayaan memiliki tiga wujud sebagai gejalanya yakni:
  1. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, dan peraturan, dan sebagainya.
  2. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktifitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat.
  3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.[4]
adat perempuan lamar laki pada perkawinan di lamongan
Ide-ide, gagasan-gasan, memberi jiwa dalam masyarakat serta tidak berdiri sendiri meainkan saling terkait satu sama lainnya.  Para ahli sosiologi dan antropologi menyebutnya sebagai system budaya atau cultural system. Dalam bahasa Indonesia terdapat padanan kata yang sesuai untuk meyebut wujud ideal dari kebudayaan tersebut yaitu adat atau dalam bahasa jamaknya adat istiadat[5].
Lamaran, khususnya di Kabupaten Lamongan, sebagai sebuah adat tentunya memiliki gagasan atau ide normatif yang terkandung dalam pola tindakan serta tata caranya disamping memiliki benda-benda (berwujud makanan atau gawan) spesifik yang menjadi simbol-simbol dari gagasan normatif tersebut.

Yang terkenal dan khas dari adat lamaran di Kabupaten Lamongan adalah perempuan yang melamar laki-laki. Pelamaran ini, melambangkan keinginan keluarga perempuan membawa pria yang dilamar tersebut untuk mengikuti si perempuan. Dan setelah menikah kelak ia harus mengikuti pihak perempuan dalam menentukan tempat tinggal serta lainnya[6]. Dan ia telah menjadi ‘milik’ pihak (keluarga) perempuan.
Secara lengkapnya, adat lamaran tersebut adalah sebagai berikut:

1.      Menentukan Calon Suami/Istri
Dalam menentukan calon suami/ istri, pihak keluarga sebagaimana umumnya masyarakat Jawa mempertimbangkan bibit, bobot, bebet. Namun yang harus diutamakan adalah kualitas agama. Indikator umum yang dipakai masyarakat Lamongan yang terkenal agamis adalah apakah calon yang bersangkutan pernah menimba ilmu agama di pesantren. Baik mukim (tinggal di pesantren), maupun kampung-an[7]. Ini berlaku pada perjodohan yang tidak saling kenal, sedangkan jika saling kenal pertimbangannya akan lebih jelas karena tahu bagaimana kaifiyah sehari-hari[8]. Apalagi di masa kini, perilaku pacaran menjadi hal lumrah pasangan muda-mudi pra perkawinan. Namun perubahan zaman yang mengakomodir keterbukaan kemungkinan muda-mudi menentukan sendiri pasangan perkawinannya punya andil besar dalam perubahan adat lamaran di Kabupaten Lamongan.
Keluarga yang akan menikahkan anaknya, baik perempuan maupun laki-laki tidak ada hambatan dan batasan dalam memulai memilih calon yang hendak dilamar. Boleh saja pihak laki-laki melamar dahulu atau pihak perempuan yang melamar dahulu. Pada prinsipnya tidak ada tabu dalam hal ini.  Argumentasinya adalah bahwa nabi Muhammad SAW dilamar oleh Siti Khodijah (istri pertama nabi) melalui pamannya.  Argumentasi kedua adalah keluarga perempuan harus memastikan suami untuk anaknya adalah pria yang tepat. Sebab selain masih umumnya pandangan perempuan adalah kanca wingking sehingga laki-laki dianggap memimpin perempuan dalam rumah tangga, perempuan oleh keluarga, khususnya orang tua, dianggap sebagai harta yang ternilai. Hal ini dikarenakan keyaninan setempat bahwa ketika orang tua sudah renta dan butuh diurus segala keperluannya maka yang diharapkan bisa diandalkan adalah anak perempuan sebab anak laki-laki akan bekerja di luar rumah dan menantu perempuan tidak terlalu diharapkan.
Selain itu, yang datang duluan untuk njaluk adalah pihak yang punya kewenangan lebih untuk membawa yang dilamar masuk atau bertempat tinggal sesuai kehendak keluarga yang njaluk. Karenanya banyak pihak perempuan yang datang ke keluarga laki-laki mendahului pihak laki-laki datang ke pihak perempuan dengan harapan akan membawa laki-laki yang di lamar tersebut bertempat tinggal di rumah orang tua perempuan atau berdomisili dekat dengan orang tua perempuan.

2.      Tahap Pertama Lamaran: Njaluk
          Tahap awal ini biasa disebut njaluk yang dalam bahasa Indonesia berarti meminta. Meminta ini dimaksudkan sebagai meminta persetujuan untuk menjadikan anak keluarga yang didatangi sebagai menantu. Pada tahap ini, keuarga yang datang njaluk membawa gawan atau oleh-oleh berupa gula dan kopi mentah (belum disangrai dan ditumbuk).  Ini di maksudkan sebagai memulai sesuatu atau diibaratkan mempersiapkan pagi hari dimana orang lamongan biasa minum kopi di pagi hari sebelum berangkat ke sawah atau tambak. Jika keluarga yang dijaluk atau diminta setuju maka keluarga tersebut akan membalas dengan kunjungan balik pada keluarga yang datang njaluk dengan membawa gawan yang tidak ditentukan sambil menentukan hari lamaran. Sebaliknya jika keluarga yang dijaluk atau diminta menolak maka harus ada kunjungan balik dari yang bersangkutan untuk menjelaskan penolakan tersebut dengan membawa gawan gula dan kopi mentah sebanyak yang di bawa pihak pe-njaluk atau keluarga yang melamar sebagai simbol pembatalan.
3.      Tahap Kedua : Lamaran
Tidak secara otomatis yang berkunjung pertama untuk njaluk adalah yang akan melamar. Biasanya pada tahap njaluk masing-masing keluarga sudah saling berisyarat tentang siapayang akan melamar. Namun biasanya keluarga perempuan berusaha sebagai pihak yang datang melamar terlebih dahulu dengan alasan-alasan sebagaimana diatas. Kadang dua keluarga berebut menjadi pihak yang melamar terlebih dahulu.
Dalam lamaran ini materi pokok pembicaraannya adalah bulan baik untuk dua keluarga dalam melangsungkan perkawinan serta waktu untuk bertemu kembali dengan pokok pembicaraan memilih hari yang tepat/hari baik. Pertimbangan bulan baik sesuai kepentingan masing-masing keluarga.
Adapun gawan yang wajib di bawa adalah tetel. Tetel adalah makanan yang terbuat dari beras ketan yang tanak seperti menanak nasi kemudian dicampur kelapa parut dan di tumbuk sampai halus dalam wadah khusus yang disebut lumpang. Hal ini mengandung maksud agar perkawinannya kelak seperti tetel yang lengket dan bercampur secara baik seperti  ketan dan kelapa yang tidak lagi berupa ketan dan kelapa serta berasa sangat gurih. Gawan lain yang lumrah dibawa adalah gula, kopi bubuk, dan pisang. Bisa juga ditambah yang lainnya. Kopi disini sudah dalam bentuk siap pakai menandakan hubungan perbesanan yang hendak dijalin dalam tahap yang hampir pasti jadi dilangsungkan.
4.      Tahap Ketiga Lamaran: Milih Dino
          Milih Dino atau memilih hari pernikahan mendapat waktu khusus sebab pada keluarga tertentu yang percaya pada perhitungan hari baik berdasarkan weton[9] calon pengantin. Dua keluarga biasanya membawa ahli perhitungan Jawa. Namun bagi yang tidak percaya pada hal tersebut, pertemuan ini hanya menjadi silaturrahim biasa dan memilih hari dengan perhitungan kepentingan biasa.  Biasanya pertemuan ini bertempat di keluarga yang dilamar. Sehingga ada  tiga kali kunjungan keluarga sebelum prosesi perkawinan yakni njaluk, lamaran, dan milih dino.
Gawan pada tahap ini adalah makanan lengkap yakni nasi, lauk, sayur, dan buah serta jajanan lainnya. Biasanya dalam jumlah banyak sebab akan di bagikan pada kerabat dekat dan tetangga pihak yang dilamar sebagai pengumuman implisit bahwa anak keluarga tersebut sudah terikat hubungan calon suami/istri. Secara implisit juga gawan yang dibagikan pada kerabat dan tetangga ini menunjukkan status sosial calon besan. Semakin kaya sang calon besan, maka semakin banyak dan beragam gawan-nya.
5.      Tahap Keempat:  Perkawinan
Sebagaimana umumnya pelaksanaan perkawinan. Biasanya mengundang kiai untuk memberi ceramah agama seputar perkawinan dan nasihat-nasihat agama dalam pola hubungan suami-istri. Adapun pelaksanaan dan prosesi tidak ada keharusan tertentu dan disesuaikan dengan kemampuan ekonomi keluarga yang bersangkutan.
         
C.      PERUBAHAN ADAT LAMARAN
Di banyak tempat, perempuan harus menunggu di lamar untuk dapat jodoh/ suami sehingga ada julukan perawan tua bagi perempuan berumur yang belum menikah. Ini tidak berlaku di Lamongan. Dalam konteks perjodohan laki-laki maupun perempuan boleh berinisiatif dalam mencari jodoh. Inilah perwujudan egalitarianisme masyarakat Lamongan disamping banyak nilai lain yang mendukung etos hidup masyarakat Lamongan yang ulet dan berani berpetualang dalam mencari penghidupan ekonomi.
Namun seiring perkembangan zaman, perilaku pacaran mengurangi proses tahapan diatas sehingga keluarga datang seringkali langsung menentukan hari pernikahan. Pihak keluarga yang datangpun tidak selalu berarti punya kewenanganan lebih untuk memboyong atau membawa calon menantu ke rumah yang melamar terlebih dahulu. Sebab seiring kesadaran calon mempelai dalam memutuskan pasangan hidup, seiring itu pula terjadi otonomi pasangan dalam merencanakan dan  menentukan masa depan perkawinan mereka.
Terlebih jika pasangan menikah dengan orang yang berasal dari luar Lamongan. Maka segala hal yang terkait adat di atas tidak diperlakukan secara ketat dan bisa saja diabaikan. Namun pada keluarga tertentu yang memegang teguh adat lamaran ala Lamongan ini ketika berbesan-an dengan keluarga dari luar Lamongan yang tidak paham adat istiadat Lamongan menjadi salah paham. Pada tingkatan ekstrim bisa terjadi pembatalan perkawinan karena masalah tidak saling pahamnya terhadap adat istiadat ini.

SUMBER RUJUKAN

Informan
Hj. Istirochah
Sesepuh desa Gedong Boyo Untung kecamatan Turi berusia menjelang 80 tahun.  Menikah pada usia 12 tahun dan melahirkan pertama pada usia 14 tahun. Dua anaknya yang pertama dan kedua meninggal dalam bersama pada wabah cacar di tahun 1950. setelah itu berturut turut dalam jarak 2 tahun melahirkan empat (4) orang anak dengan rincian tiga  (3) laki-laki dan satu (1) perempuan dari perkawinan pertama. Perkawinan kedua dikaruniai dua anak. Anak yang terakhir berusia 35 tahun. Ia adalah perintis dan pendiri Muslimat NU di tingkatan Kecamatan juga Kabupaten.
Suami pertama adalah Kiai bernama Kiai Haji Ismail yang cukup disegani pada zamannya dan penghormatan ini terus terbawa sampai anak cucunya.  Suami kedua adalah seorang tuan tanah yang menjabat kepala desa sampai akhir hayatnya. Saat ini hidup menjanda bersama anak ke lima dari perkawinan yang kedua.

Pustaka
  1. Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta, Rineka Cipta, 2004.
  2. Aneka Data Potensi Kabupaten Lamongan, pemerintah kabupaten lamongan, 2004.
  3. Potensi Ekonomi dan Bisnis di Kabupaten Lamongan, pemerintah Kabupaten Lamongan, 2005.
  4. Chris Barker, Cultural Studies: Teori Dan Praktik, Yogyakarta, Kreasi Wacana, 2005.
  5. T.O Ihromi, Pokok-Pokok  Antropologi Budaya, Jakarta, Yayasan Obor, 1999.
___________

[1] Aneka Data Potensi Kabupaten Lamongan, diterbitkan pemerintah Kabupaten Lamongan, 2004
[2] Potensi Ekonomi Dan Peluang Bisnis Di Kabupaten Lamongan, diterbitkan pemerintah Kabupaten Lamongan 2005
[3] Ibid.
[4] Kontjaraningrat, Pengantar Antropologi, Jakarta, Rieneka Cipta, 2002. hal 186-187.
[5] Ibid, hal 187
[6] hasil wawancara dengan informan.
[7] Mukum adalah santri yang tinggal di pesantren sehari-harinya. Biasanya karena rumahnya jauh maka santri mukim tinggal di asrama pesantren. Sedangkan santri kampuang-an adalah santri yang bersal dari penduduk sekitar pesantren yang karena rumahnya dekat maka ia hanya datang ke pesantren pada saat mengaji. Selebihnya tinggal di rumah.
[8] Kaifiyah adalah perilaku seseorang dikaitkan dengan norma agama islam.
[9] Weton adalah hari lahir menrut perhitungan jawa. Seperti legi, pahing, pon, wage, kliwon.
_______________________

Ditulis oleh: Mar'atul Makhmudah

Bacaan lain:
Mengenal Tradisi Perayaan Gerebek Besar di Lamongan Sebagai Perayaan Spiritual dan Politik
Mengenal Wayang Dalam Budaya Jawa
Mengenal Kesenian Pendhalungan: Jaran Bodhak Sebagai Simbol Eksistensi Diri Orang Pinggiran
Memahami Realitas Sosial Tanpa Prasangka: Fenomenologi


No comments:

Post a Comment